Minggu, 09 September 2012

Cinta Dalam Pandangan #2



        Seiring putaran roda sang waktu. Menggilas janji janji anak ingusan macam kami. Mereka yang dulu bersama atas nama cinta, cinta yang mereka definisikan sekedar umurnya, kini berjalan saling menyendiri. Hubungan dua insan ingusan Kini membeku dalam keabuan masa usia. Bahkan mungkin cintanya terlalu membara, hingga membakar relung relung hati, menyisakan luka, memunculkan murka keduanya.
Berjalan aku diujung waktu, menyambut hari hari baru, masih dalam ketidak mengertianku yang kuacuhkan, tentang cinta dan kehidupan. Dalam pikir bagiku tetap sahabat dan ketidak mengertianku, namun entah mereka.
        Seiring waktu semuapun berjalan, menjalani takdir masing masing. Sebagian mereka pergi, sebagian datang diwaktu baru ini. Waktu baru, semangat baru, kisah baru, mungkin juga cinta cinta baru, pula cara yang baru. Aku tetap begini, menikmati kesendirian akibat ketidaktahuanku,  sahabat di kanan dan kiriku. 
Mungkin kekagumanku. Kekaguman akan sosok, akan rupa, akan ilmu, dan juga segala. Kagum yang sempat salah kumaknai cinta. Tapi biarlah, setidaknya hal ini tidak terus berlarut dalam diriku. 
*****
        Kini sejurus tahun semenjak kekaguman yang kusalah artikan. Kami sempat kembali, sekedar menyambung sahabat yang lama hilang. Kupandang wajah dan tingkahnya, masih semangat seperti dulu, ceria dan seyumnya tak pernah lupa. Nampak kini dia bahagia, membangun usaha di masa mahasiswa, menimba ilmu yang hasilnya mungkin lebih dariku, dan berbahagia dengan dia seseorang yang sudah tak asing kesolehannya bagiku.

        Namun betapa aku terkejut saat dia berujar, apa saja yang kau tunggu dikala itu, tidak taukah bahwa ada dirimu dalam harapku ?.... Ujarnya hanya mampu kujawab dengan senyum, senyum terbaikku. Sungguh, aku terlalu bodoh kala itu, tidak pernah aku bisa mengerti penantianku. Maaf, beribu maaf atas kesakitanmu karenaku. Kata kata yang hanya mampu terucap oleh hati.
*****
        Untuk mengusir sepiku, akupun hanyut dengan mereka mereka. Kami yang bersepakat berjalan bersama, untuk sejenak menepi dari hingar bingar perasaan muda. Kami berjalan, kami berlari, menambal dan menyulam satu sama lain, dalam kelemahan dan kekuatan bersama. Aku masih tak mengerti, namun setidaknya, aku sudah tak sendiri di jalan ini.
        Di usia ambang dewasa, mereka semakin mengerti, akan benar dan salahnya. Namun aneh bagiku, bukan benar yang dijalani, hanya salah yang kian direkayasa, hingga seolah benarnya saja mereka.
        Ketika itu dunia sibuk dengan cokelat dan festivalnya. Semua menunjukkan kasih akan sesama. Heranku, jika kasih hanya sehari, lalu dimana kasih dihari hari lainnya ? Di hari itu hanya sepi diantara kami. Semua menyadari, bahwa hari itu adalah keganjilan yang tak seharusnya diikuti. 
        Betapa mataku terbelalak dikeesokan hari, semua hiruk pikuk dengan batangan batangan cadbury di tangannya. Kusempatkan bertanya salah satunya, dan katanya, "bahwa merayakan di hari kemarin itu adalah kesalahan, sehingga kami melakukannya hari ini". Oh Tuhan, aku memang tidak ber ilmu. Namun sebodoh bodohnya diriku, bagiku salah tetaplah salah, meski dilakukan dengan cara berbeda. Buruk tetaplah buruk, meski ditimbun sejuta kebaikan.
        Kunikmati sendiri jalanku, saling tambal sulam semangat bersama sahabat. Hingga sebagian mereka mengolokku. Bagaimana mungkin aku memilih jalan sendiri, disaat semua hingar bingar dengan arti cintanya yang baru.
        Ya, aku sadari betul perbedaan itu. Di masa ini cinta sudah berbeda. Cinta tumbuh dimeja meja berbalut belajar bersama. Cinta dihalalkan mekar diantara prestasi prestasi dengan berkedok saling menyemangati. Cinta yang saat ini, merebak di serambi serambi masjid yang katanya demi semangat untuk ibadah yang lebih baik. Cinta yang saat ini, tumbuh bersama para sahabat, saling merajut janji seolah hidup selamanya berdua sudah pasti. Padahal kecuali Tuhan, makhluk mana yang menjual pasti ?
        Entah bagaimana mula, tiba tiba mereka berpikir aku dengannya. Perempuan anggun yang mungkin paling pendiam disini. Dia diam, dia menawan, dia sederhana, keindahan terbesarnya adalah serba ketidakberlebihannya. Tak sadar kami mulai biasa, bahkan menikmati anggapan mereka. Meski tak pernah terucap kata. Sekali lagi aku terlalu payah dalam hal ini.
        DI waktu waktu mendatang, dari seorang sahabat kutahui dia telah memilih pendampingnya. Entah sedih atau senang baginya, aku bersyukur bahwa itu bukanlah aku. Setidaknya aku tak perlu berjanji, janji yang sebenarnya belum tentu akan mampu aku penuhi. Dan memang aku payah dalam hal ini, maaf, beribu ribu maaf.
        DIpenghujung waktu, kami harus pergi. Mengakhiri kebersamaan ini. Sekali lagi menyambut takdir. Entah itu keluarga, cita cita, ataupun asa, semua pilihan masing masing. 
        Dalam waktu waktu perpindahan ini. Mereka yang dulu bersama atas nama kasih, sekali tercerai berhamburan. Hanya mungkin dalam balutan yang lebih santun kali ini. Mereka yang bersama, ketidakcocokan menjadi alasan pemudar rasa. Mereka yang dekat hati, jarak menjadi jurang pemisahnya. Beserta beribu alasan yang terlalu tinggu untuk bisa kupahami.
        Dan apa apa yang mereka puja banggakan tentang cinta, kudapati kini pudar seiring waktu. Bilapun diijinkan bertanya, maka aku ingin berkata. Mana ? Apa kabar cinta ?
         Di ujung kata, syukurku masih sama. Ketidak mengertianku, dulu kurasa berat. Namun kini biasa kunikmati sendiri pahitnya sepi ini. 

        Yah, aku memang terlalu bodoh untuk mengerti. Mengerti, apalagi menjalani cinta cinta beserta kisahnya yang terjadi.Aku hanya tahu bahwa ada sahabatku disini. Namun sungguh, aku banyak bersyukur dengan kebingunganku.
        Setidaknya, disini masih ada teman temanku. Sedangkan mereka yang mengaku bersama karena cinta, kini tercerai berai, bahkan saling caci penuh benci.
Dari sinilah kisah berlanjut, tentang cinta dalam pandangan, tentang kisah dalam perjalanan panjang kehidupan. Dari sini mulai kurasa kebimbangan, bahwa mungkin cinta, belum waktuku kini. 



Cinta dalam Pandangan #2
Surabaya, masa masa kuliah, 
lebih dari tiga tahun semenjak ketidak mengertian yang aku syukuri.
 
Tulisan adalah buah pemikiran.
Tidak selalu sebuah kejadian.
Namun juga tidak selalu hanya impian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar