Jumat, 10 Mei 2013

Belajar Ikhlas 1

Disemester delapan ini mata kuliah tinggal sedikit. Sehingga UTS (Ujian Tengah Semester) sudah selesai hanya dalam dua hari, Senin dan Selasa. Mumpung ada jeda sampai Sabtu depan, maka kuputuskan untuk pulang kampong, sekalian mengurus perpanjangan SIM dan mengambil e-KTP. Karena ada beberapa kesibukan yang harus diselesaikan, maka Rabu pagi aku baru bisa pulang. Rencananya hari Jumat aku harus kembali lagi ke kampus, karena Sabtu ada jadwal tes TOEFL.

Sampai di kota kelahiran, aku langsung menuju kantor samsat dengan maksud untuk segera mengurus perpanjangan SIM. Tapi kok sepi ya. Hanya ada beberapa sepeda motor terparkir disana. Saat itu sekitar jam setengah satu siang. Baiklah, sekalian bertanya tanya kuputuskan untuk fotokopi KTP dulu. Disebuah temapt yang sepertinya masih satu gedung dengan samsat. Nampak mas mas fotokopinya juga menggunakan seragam.

Akaupun bertanya, “Mas, kalau mau perpanjangan SIM disini ya ? Tapi kok kelihatannya sepi”

Kemudian masnya menjawab : “Iya disini mas, tapi sudah tutup. Jam operasinya kan hanya sampai jam dua belas siang”

“Gila, ini kantor pelayanan umum macam apa, buka cuma sampai jam dua belas siang. Kantor kelurahan saja jam dua siang masih mau melayani”. Aku menggerutu dalam hati.

“Yasudah mas, terima kasih banya”. Aku berusaha tersenyum sebaik mungkin meski jengkel luar biasa.

Baiklah jadwal terpaksa mundur, besok saja ngurus SIM, pagi pagi sekali. Harus.
###

Baiklah pagi ini, segera mandi, lalu berangkat ke kantor SAMSAT. Ambil handuk, masuk kamar mandi. Tapi belum adan dua menit aku di dalam kamar mandi, ibu sudah manggil manggil. 

“Riiis, Riiis. Keluarlah dulu sebentar. Pentiiing”. Begitu kata ibu

“Buseeet, memang penting banget ya. Belum juga pakai sabun, sudah disuruh keluar aja”. Aku menggerutu dalam hati.

Aku segera keluar, dan kulihat ibu sudah sibuk menurunkan baglog jamur dengan dua orang pria. Ooh, ternyata baglog jamur pesanan ibu kemarin sudah datang. Mau bagaimana lagi, aku segera membantu mereka menurunkan lima ratus baglog jamur tersebut dari truk. Gila, banyak sekali ternyata, jam sembilan siang prosesi angkat angkat ini baru selesai. Dan badan bau keringat. Tapi jangan harap pekerjaan selesai, ini baru menurunkan baglog dari truk, belum memasukkannya ke kumbung jamur.

Baiklah, istirahat sebentar. Lalu mandi, terus segera mengurus SIM, sudah jam sepuluh, jangan sampai terlambat seperti kemarin. 

Selesai mandi, ternyata ada mas mas dating ke rumah. Entahlah, wajahnya sama sekali aku tidak kenal. Dan lagi lagi ibu menyuruhku menemuinya. 

“Duuuuh, siapa sih ni orang, ganggu aja kerjanya. Ndak tau apa ya, aku lagi buru buru”. Aku menggerutu lagi.

Baiklah, kutemui saja. Ternyata orang itu adalah mas mas yang menjual baglog jamur tadi. Memang sengaja uangnya tidak diberikan langsung oleh ibu, biar jelas dan ketemu sendiri antara penjual dan pembeli, begitu mungkin pikiran ibu. 

Celakanya, ini mas mas banyak banget yang diceritakan. Ngobrol kesana kemari, dari a sampai z, sampai balik ke a lagi, dan berakhir di z lagi. Padahal uangnya sudah kuberikan, tapi kok ndak pamit pamit ya ini orang. Duh. 

Setelah beberapa lama ngobrol hal hal yang tidak karuan, akhirnya ini mas mas pamit juga. Ahhh, legaaa. Tapi masalah muncul lagi, buset sekarang sudah jam sebelas. Kalau aku langsung berangkat sekarang untuk mengurus SIM, minimal butuh tiga puluh menit untuk sampai di lokasi. Berarti jam setengah dua belas. Padahal jam dua belas kantornya sudah tutup. Belum lagi harus tes kesehatan untuk syarat perpanjangan SIMnya. Aaarrrgh, kenapa sial sekali hari ini.

Jadwal terpaksa diundur lagi. Jumat baru bisa ngurus SIMnya. Akupun mulai kebingungan. Sabtu sudah harus di kampus untuk tes TOEFL, tapi Jumat juga masih harus ngurus SIM. Ah kenapa sial sekali aku ini.

Karena sudah marah, bingung, dan kesal setengah mati. Akhirnya beberapa waktu kuhabiskan hanya untuk menonton televise, main Facebook lewat handphone ataupun mengirim sms yang tidak jelas kepada teman temanku.

Melihat aku hanya bengong didepan televise, ibu kembali memanggil.

“Ris kesini sebentar, bantu ibu mindah kulkas”. Begitu panggilnya

Aduh, hai, tidak cukupkah seharian ini jadwalku sudah berantakan gara gara membantu ibu. Aku menggerutu, namun tak terucap. Tapi disisi lain, mana mungkin aku biarkan ibu memindah sendiri kulkas yang jelas berat itu. Padahal bapak juga sedang keluar. 

Baiklah baiklah, aku anakmu siap membantumu ibu.

Ditengah pekerjaan memindah kulkas, ibu bertanya. “Loh, kamu tadi tidak jadi ngurus SIM ya ?”

Aku hanya diam. Bagaimana sempat aku melakukannya, dari pagi sampai siang begini harus ikut sibuk dengan urusan angkat angkat baglog jamur-lah, mindah mindah kulkas-lah, dan masih juga harus menata baglog jamur tadi di kumbungnya. Semua keluhan seolah mau muntah keluar, namun tertahan. 

Kalau sudah diam begini, ibu langsung tahu kalau ada masalah. “waduh, kalau tau begitu. Tadi ibu tidak mau minta tolong”. Ibu membela, tanda penyesalan.

Selalu saja begitu. Dari dulu sampai sekarang, mana pernah aku bisa tenang mengerjakan urusanku kalau dirumah. Selalu saja ada ini itu, suruh begini, suruh begitu, minta tolong ini, minta tolong itu. Tapi mana mungkin juga akan kutolak perintah ibu. Ibu yang setiap hari sudah pasti bekerja keras untukku. Meski aku tahu, meski juga aku tidak pernah tahu. Entahlah.

Aku benar benar ingin marah. Tapi marah pada siapa ? Apakah mungkin aku mau marah pada ibu ?

Entahlah, aku benci semua keadaan ini. Tapi aku juga harus menjalaninya.

Semoga esok hari, semua urusan ini bisa beres. Itu saja. Aaamiiin


NB : Kisah ini sama sekali tidak bermaksud untuk membenarkan kita untuk mengeluh. Hanya saja, menurut saya, kesulitan memang selalu terjadi. Dan kita selalu memiliki dua pilihan untuk menghadapinya, mau mengeluh, atau mau tetap ikhlas dan bersyukur....

1 komentar:

  1. curhat versi jumbo ya di blog tempatnya :D
    haha, mampir bro.

    BalasHapus